Oleh Abdul Aziz
Cita-cita memproduksi mobil nasional (mobnas) belum padam. Setidaknya ada 10 perusahaan yang sudah bisa membuat mobil karya bangsa sendiri dengan harga “miring”. Tapi, anehnya, pemerintah malah berencana menyerahkan produksi mobil murah kepada prinsipal Jepang. Cita-cita mobnas bakal kembali kandas?
——————
Siapa bilang orang Indonesia tak bisa bikin mobil sendiri? Tengok saja, paling tidak sudah ada 10 perusahaan lokal yang sudah bisa membuat mobil “made in Indonesia” dan siap memproduksinya secara massal.
Para produsen mobil nasional (mobnas) itu adalah Tawon, Gea, Arina, ITM, Fin Komodo, dan Wakaba. Para produsen mobnas yang tergabung dalam Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa) ini memproduksi mobil dengan mesin berkapasitas di bawah 1.000 cc.
Harganya amat murah, rata-rata hanya Rp 30-Rp 60 juta per unit. “Itu jauh di bawah harga ‘mobil-mobil murah’ yang diproduksi agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia,” tutur Ketua Umum Asia Nusa H Ibnu Susilo kepada Investor Daily.
Di luar itu masih ada mobnas-mobnas lainnya yang dibuat sejumlah pihak, seperti Marlip (mobil listrik hasil rekayasa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia /LIPI), beberapa varian mobil militer buatan PT Pindad, Gangcar (mobil kecil buatan PT DI), serta Esemka Digdaya (karya anak-anak SMK 1 Singosari Malang).
Para produsen mobnas itu tersebar di sejumlah daerah.
Tawon punya basis produksi di Banten, ITM dan Boneo di Jakarta, Wakaba dan Komodo di Jawa Barat, Arina di Jawa Tengah, dan Gea di Jawa Timur. Mereka memang belum berpoprudksi secara massal. Sebagian malah baru membuat prototype-nya. “Tapi order sudah banyak,” kata Ibnu Susilo.
Munculnya kendaraan-kendaraan lokal tersebut mengingatkan bangsa ini pada mobil-mobil buatan sendiri di masa lalu. Pada rentang waktu 1996 hingga 2003, Indonesia sempat merilis sejumlah mobnas, di antaranya Maleo, Timor, Bakrie, dan Macan (Texmaco). Bahkan, Texmaco pernah membuat truk Perkasa yang banyak digunakan TNI.
Tapi, cita-cita mobnas kemudian padam seiring batalnya produksi massa mobil-mobil tersebut, baik akibat krisis maupun karena alasan lainnya. Satu-satunya mobnas yang eksis adalah Timor, besutan PT Timor Putra Nasional (TPN), perusahaan milik Tommy Soeharto.
Namun, status mobnas yang disandang Timor pun akhirnya kandas setelah Pemerintah RI dikalahkan The Big Three (produsen otomotif AS, Uni Eropa, dan Jepang) dalam sengketa di dispute settlement body Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Akibat kekalahan itu, pemerintah mencabut seluruh fasilitas perpajakan yang diberikan kepada TPN.
Sejak itu, wacana perlunya memiliki mobnas terdengar “sayup-sayup jauh”, kalah oleh ingar-bingar promosi mobil-mobil Jepang, Eropa, dan Amerika. Bahkan, belakangan, tak hanya mobil-mobil produksi The Big Three yang berseliweran dan menyesaki jalan-jalan di Indonesia, tapi juga mobil-mobil Korea. Malah, mobil buatan Malaysia, Proton, dalam setahun terakhir juga ikut meramaikan jalan-jalan di Indonesia.
Diserahkan ke Prinsipal
Apakah dengan munculnya Tawon cs, cita-cita mobnas bisa diwujdukan? Bisa ya, bisa pula tidak. Yang pasti, pemerintah sepertinya sudah tak begitu bernafsu mengusung program mobnas.
“Pemerintah memang tidak pernah punya program mobil nasional,” tandas Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Budi Darmadi kepada Investor Daily.
Bagi pemerintah, untuk memproduksi mobil murah nasional, melibatkan investor prinsipal lebih efektif ketimbang memanfaatkan produsen mobil lokal yang masih “tertatih-tatih” dan belum tentu bisa bersaing.
Apalagi hingga kini belum ada perusahaan lokal yang mampu memproduksi mobil berskala nasional. “Pemerintah belum dapat merumuskan kebijakan mobnas karena para produsen mobnas baru sampai tahap pemantapan produk,” tegas Budi Darmadi.
Atas dasar itulah, pemerintah lebih berupaya menjalin kerja sama investasi untuk memproduksi mobil yang terjangkau dan ramah lingkungan (low cost car and green car). “Selain dari prinsipal mobil, produsen komponen diharapkan ikut berinvestasi untuk menunjang pengadaan mobil murah,” papar Budi Darmadi.
Sekadar informasi, Kemenperin sedang menyusun regulasi mobil murah dan ramah lingkungan. Jika tak ada aral melintang, regulasi itu kelar tahun ini. Dengan begitu, mulai 2012, mobil murah nan ramah lingkungan itu sudah bisa diproduksi secara massal. Mobil murah dimaksud adalah mobil berkapasitas mesin di bawah 1.000 cc.
Berarti, para prinsipal punya waktu 1,5 tahun untuk menganalisa model mobil murah yang bakal dirilis ke publik. Mobil murah keluaran agen tunggal pemegang merek (ATPM) itu bakal dibanderol Rp 70-80 jutaan pe runit.
“Jika produksi mobil murah diserahkan kepada prinsipal atau ATPM, apakah itu berarti para produsen mobnas yang juga memproduksi mobil murah bakal gigit jari? “Kami baru cikal bakal. Tentu kami akan kalah bersaing,” ujar Ibnu Susilo.
Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah memang sedikit “aneh”. Alih-alih mendorong para produsen mobnas (baca: non-ATPM), pemerintah justru membiarkan mereka bertarung dengan para ATPM yang dari segi dana, teknologi, SDM, maupun jaringan pasar jauh lebih kuat.
“Padahal, kami juga punya obsesi bikin ATPM di negara lain. Industri mobnas, termasuk dari sisi komponen, juga akan memberikan nilai tambah tinggi bagi perekonomian nasional. Belum lagi dari sisi devisa,” ucap Ibnu.
Dengan menyerahkan mobil murah dan mobil ber-cc kecil kepada para prinsipal, sama saja pemerintah “membonsai” para produsen mobnas atau melepas kelinci ke kandang singa.
“Kami sebetulnya tidak menuntut terlalu muluk-muluk. Yang kami tuntut hanya perlindungan pasar. Industri otomotif AS, Jerman, dan Jepang pada awalnya juga berjuang dari nol. Tapi mereka mendapat perlindungan dari negaranya,” kata Ibnu Susilo.
Dalam soal mobnas, Ibnu punya filosofi yang patut diacungi jempol. “Kami membuat mobnas agar kita punya product of Indonesia, bukan sekadar mobil made in Indonesia. Kalau sudah product of Indonesia, itu artinya kita berbicara budaya dan karya anak bangsa. Ini soal identitas dan jatidiri bangsa,” paparnya.
Tapi, tekad pemerintah sendiri sepertinya sudah bulat. Kemenperin bahkan sudah pasang ancar-ancar bahwa proyek mobil murah dan ramah lingkungan kelak harus memiliki kandungan komponen lokal minimal 80%. “Saya rasa prinsipal sepertinya sanggup dan akan mengupayakannya,” kata Menperin MS Hidayat.
Masih menurut Hidayat, setidaknya sudah ada empat ATPM dari Jepang yang telah menyatakan kesanggupannya untuk mengembangkan proyek mobil tersebut. “Mereka mau berlomba menyambut business plan atau proposal tersebut,” ujarnya.
Perlu Kajian Integratif
Idealnya, pemerintah bisa mengakomodasi aspirasi para produsen mobnas sepanjang industri mereka memang prospektif. Soalnya, dari sisi SDM dan teknologi, industri di dalam negeri sejatinya sudah bisa membuat mobil sendiri.
“Kalau peluang meningkatnya demand pada industri otomotif dimanfaatkan untuk mengakselerasi program mobnas, sebaiknya kesempatan itu diambil,” tandas pengamat dan pakar transportasi dari Masyarakat Tranportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit.
Toh, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Salah satu pertanyaan besar yang harus dijawab paralel adalah apakah keberadaan industri mobnas akan berkelanjutan secara ekonomi dan mampu menyejahterakan masyarakat. “Pada sisi ini, dampak positif program tersebut memang masih diragukan,” ucap Danang.
Mengapa demikian? Konsumen terbesar kendaraan adalah kota-kota besar. Alhasil, program mobil murah itu akan berdampak pada terjadinya kemacetan akut. Apalagi pemerintah tidak pernah tuntas mengerjakan PR-nya untuk menyediakan angkutan umum yang memadai.
“Kalau pemerintah punya strategi yang kuat untuk penyediaan angkutan umum itu, khususnya di daerah perkotaan, program itu akan relevan,” papar Danang.
Berarti, program tersebut harus menyertakan kajian kebijakan transportasi dan penyediaan energi. Sebab, bila harga kendaraan menjadi lebih murah, yang akan terjadi adalah replacement (perpindahan) moda dari pengguna sepeda motor ke mobil.
Nah, itu bakal berdampak langsung pada kenaikan konsumsi bahan bakar per kapita nasional. “Jadi, masalahnya, tergantung skenario elastisitas demand terhadap mobnas ini dan cross elasticity terhadap angkutan umum,” kata Danang.
Yang tak kalah pentingnya adalah analisis trade balance yang mendalam terkait penggunaan modal dan teknologi Jepang dengan penggunaan konten lokal. Sejauh ini konten lokal memang dilematis.
Faktanya, sering diperlukan skala ekonomi untuk memproduksi barang dengan harga kompetitif. “Sebagai solusinya, program mobnas itu sebaiknya dibuka kepada publik, sehingga bisa di-assessment dan diuji publik,” tutur Danang Parikesit.
Jika menilik pernyataan Danang Parikesit, dapat disimpulkan bahwa diproduksi oleh produsen lokal maupun oleh ATPM, potensi masalah yang ditimbulkan mobil murah sejatinya relatif sama.
Cuma, anehnya, Kementerian Perhubungan mengaku belum tahu roadmap mobil murah yang disiapkan Kemenperin. “Kami belum tahu. Tapi sesuai kewenangan kami, sepanjang kendaraan itu memenuhi standar kelaikan beroperasi, ya silakan. Nanti akan dites kelaikannya. Itu yang penting,” tegas Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Suroyo Alimoesa.(Etis Nehe/c130)
Tulisan ini dimuat di Investor Daily edisi Weekend, 10 April 2010.